kuman keciL

Lagi beLajar bkin

Tuesday, January 20, 2009

Luph U Bunda....

>ni cerpen bkin aq, mgkn kmu jg, merenung sejenak, mengingat, mnyesali ap yg udh qt lakuin sm bunda qt,
bwt kmu2 yg msh pd bandel ma bunda kmu, smga ni cerpen bs bkin perubahan lah k arah yg positip,



Kutahu,
hanya genggaman erat tanganku yang kau butuhkan,
isteriku……,

Sudah pukul 16.00. Saatnya aku berangkat untuk mengejar pesawat ke Padang pukul 18.00. Traveling-bag sudah kusiapkan sejak pagi. Pergilah”, katanya menatap mataku. “Ini belum waktunya. Kontraksi bukan di fundus, tetapi di bawah. Mungkin… sakit biasa.” Akupun mengangguk berusaha yakin. Bagaimanpun ia adalah seorang isteri yang akan melahirkan annak ketiga, jadi ia sudah tahu apa yang akan ia lakukan. Ia pun sudah kubekali dengan alamat, no. telp, dan ancar-ancar ke rumah bidan yang terdekat. Aku bahkan sudah meninggalkan pesan kepada sahabat karibnya, jika sewaktu-wak tu saat itu tiba, ia siap membantu.
Keningnya segera kucium setelah tanganku diciumnya mesra. Dan tas itu sudah kuangkat untuk kugelandang ke pintu depan. Tangannya menyuruhku pergi, tetapi kutahu matanya mengatakan tidak. Ia bahkan tak beranjak dari tempatnya karena sakit yang tak terparikan itu. Apakah ini sudah waktunya? Tanya batinku mencari kepastian. Bukankah perkiraannya masih 9-10 hari lagi? Kulihat kini mata itu basah. Sedetik kemudian aku putuskan. “Kayaknya lebih baik aku tak jadi berangkat.” Begitulah kata-kataku meluncur dan tas kuletakkan kembali. Ia terkesima. “Nggak apa-apa, Mas?” tanyanya sembari mengusap sembab matanya. “Aku nggak apa-apa kok. Kalaupun nanti ke bidan sendiri, aku bisa. Lagi pula bidannya saudaraku sendiri.”
“Nggak. Aku bisa tunda acara di Padang besok.: Ia memelukku dalam isak. “Mas, aku takut. Aku takut ramalan itu akan nyata. Mungkin sebentar lagi aku akan meninggalkanmu dan anak-anak. Kutitipkan cintaku padamu di setiap langkahmu, titip anak-anak, Mas...!.” ”Sssst...ssst... lupakan ramalan itu. Lupakan ramalan itu. Kita berdoa pada Tuhan Yang Memeiliki Mahadaya kuasa. Coba kita lihat sampai besok,” bisikku. ”Jika sakit itu mereda, aku bisa ke Padang petangnya.” Ia mengangguk. Aku segera memapahnya berbaring. Akhir-akhir ini memang isteriku sering gelisah dengan ramalan yang pernah ia dengar dari seorang yang pernah ia temui di kampung halamannya. Aah, bull sitt!
Kukontak teman seperjalananku, dan kukatakan padanya keadaanku. Ia bisa mengerti. Segera aku ke kantor yang jaraknya hanya 5 menit dari rumahku. Setelah menyelesaikan ini itu, akhirnya aku kembali ke rumah. Dan ternyata benar....! Tak menunggu menit berlalu, ia sudah mengeluarkan tanda-tanda itu. Kontraksi di bawah perut yang semakin menguat membuatnya nyaris tak kuat berdiri, bahkan beringsut . Sepercik air merah atau coklat, aku tak tahu pasti, semakin menambah keyakinan bahwa saatnya telah tiba. Maju dari perkiraan. Segera kuberbenah. Mobil kusiapkan. Dua potong jarit, setumpuk popok, stagen, pakaian ganti luar dalam, pembalut, dan minyak kayu putih kunasukkan asal-asalan dalam tas biru yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari. Kedua anakku, perempuan semuanya, kutitipkan pada tetangga yang baik hati. Dan iapun kubawa pergi.
Sepanjang perjalanan, aku katakan padanya agar ia tenang dan terus bertahan. Aku sendiri menyumpah serapahi mobil dan motor di depanku yang tak segera beranjak ketika lampu lalu-lintas sudah kuning berkedip menuji warna hijau. Sementara itu aku katakan padanya sebentar lagi akan sampai tempat tujuan. Aku sediri sebenarnya amat tegang, maunya ngebut karena tujuan masih jauh, tapi tak mungkin. Ketika akhirnya sampai tujuan hujan turun gerimis dan ternyata ia baru penbukaan 4. Ia harus menunggu hingga pembukaan 10 sampai akhirnya ia bisa melahirkan dengan normal. Satu jam kulihat ia menahan sakit. Dua jam berlalu ia memanggil-manggil namaku. Tiga jam kemudian ia meringis. Empat jam kemudian ia kembali memanggil-manggil namaku. Lima jam.... enam jam.... . Tujuh jam belum bereakasi juga dan isteriku semakin pucat menahan rasa sakit.
Pembukaan berjalan dengan lambat. Demi keselamatan kedua orang yang kucintai, bidan memutuskan memberi tindakan induksi, perangsanagn rahim agar berkontraksi. Bu Nia, bidan kami, segera bereaksi. Suntikan, infusan, oksigen, selimut, sarung tangan, botol-botol cairan segera disiapkan. Lampu-lampu dinyalakan. Celemek dipakaikan. Bu Nia segera menyuntikkan seraya memegang perut buncitnya. Asistennya menyiapkan ember. Aku genggam tangannya. Aku pegang keningnya. Peluh bercucuran. Dan kami menunggu detik-detik itu.
Tak berapa lama, ia mengejan. Bu Nia memberi aba-aba. Aku menggenggam tanggannya lebih erat. Ia mengambil nafas panjang. Ia mengejan lagi. Suaranya seperti ingin menghentakkan sesuatu yang sangat berat. Wajahnya pucat bertaburan keringat. Aku komat-kami berusaha berdoa sambil mengusap titik air yang terus mengalir di seluruh wajahnya. Ia berhenti sejenak, mengambil nafas panjang lagi, dan mengejan lagi. Bu Nia memberi aba-aba. Aku pucat. Kudengar suara seperti karet yang teregang begitu kuat, melewati batas maksimal regangannya. Seperti mau putus. Dan.... kulihat..... kulihat dengan jelas kepala mungil itu. Perlahan di sela riuh aba-aba Bu Nia, ejanan dan erangan dirinya, dan suaraku sendiri yang menguatkan untuk terus mendorong. Terus! Dorong! Kini kulihat perlahan leher, punggung, tangan, dan akhirnya kaki keluar cepat diikuti.... byoooorrrr! Ketuban mengalir laksana air bah. Putih. Bening seperti air beras. Kulihat isteriku terkualai lemas. Pucat pasi. Lelah tiada tara. Kemudian terdengar oek-oek memecah malam. Hujan gerimis di luar terdengar jelas menusuk atap genting.
”Laki-laki, Mas!” Bu Nia memberi kabar memberi kabar seperti angin sejuk mengaliri padang gersang. Isteriku tersenyum, dan sepertinya semua yang telah dialaminya seketika hilang, tergantikan dengan kegembiraan yang tak tergambarkan. Ia genggam erat tanganku. ”Aku capek sekali,” katanya. Tapi kutahu, sinar matanya menyiratkan suka cita. Alhamdulillah! Allahu Akbar! Laki-laki, sama denganku, 3,5 kg. Lahir per vagina. Lahir 5 Oktober 2006 pukul 01.15 WIB. Seketika nyawaku saat itu serasa menjadi rangkap.
Bagiku persalinan merupakan peristiwa besar penuh misteri. Peristiwa berdarah-darah. Ia seperti garis batas yang mengkhawatirkan. Tak jarang mengerikan. Barang siapa melaluinya seperti halnya melewati batas antara hidup dan mati. Ia harus dilakoni bukan oleh seorang pria gagah perkasa, melainkan oleh seorang wanita dengan segala kelemahannya. Saking beratnya episode ini, Rasul menimbangnya sama dengan jihad di medan perang. Subhanallah!
Melihatnya meringis menahan sakit, menggenggam tangannya ketika mengejan, melihat dengan mata kepala sendiri bagaiman mengeluarkan buah hati kami, sungguh merupakan episode yang menggetarkan. Selalu timbul pertanyaan.... . Akankah aku bisa menjumpai senyumnya kembali setelah episode ini? Dan selalu pula cintaku padanya tumbuh kembali dengan tunas-tunas baru. Menjulang. Apakah memang cinta justru akan menemukan titik puncaknya ketika dihadapkan pada situasi antara hidup dan mati? Di saat kemungkinan hidup sama tipisnya dengan kemungkinan tidak menjumpainya lagi?
Melihatnya bergulat dengan maut, membuat aku berjanji tidak akan menyakiti hatinya..., tidak akan pernah melukai hatinya..., apalagi memukulinya, yah apalagi memukulinya, tak kan pernah kulakukan. Sungguh, apa yang aku kerjakan sejak pagi dan pulang petang untuk mereka yang di rumah, tidaklah sepadan dengan apa yang harus dialami oleh wanita perkasa itu.
Wahai! Betapa benar sabda Rasul SAW bahwa sebaik-baiknya suami adalah yang terbaik akhlaknya kepada isterinya. Dengan membandingkan pengorbanan yang terbaik kepada isterinya. Dengan membandingkan pengorbanan pada peristiwa persalinan ini saja, rasanya aku tidak apa-apanya jika dibandingkan wanita yang anaak-anakku memanggilnya bunda.....

(Gubahan dari cerpen ”Perenungan”, BSI, 2006)



>bwt bunda,
mf, Lum bs ksh ap2 mpe skr,
Luph u bunda......

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

add comment na y....

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home